Sumba Ongole (SO), Sapi Lokal Yang Tahan Kondisi Ekstrim
Karakteristik dan Keunggulan Sapi Sumba Ongole (SO)
Saat kita mendapatkan sapi SO yang baru dikirim dari tempat asalnya, umumnya sapi tersebut dalam kondisi kurus. Memang salah satu kendala pemeliharaan sapi SO di tempat asalnya adalah jika tiba saatnya musim kemarau maka kesulitan penyediaan pakan menjadi masalah yang paling menghantui peternak sapi SO. Suhu daerah asal SO yang panas menjadikan ketersediaan hijauan pakan saat kemarau menjadi sangat langka.
Alam yang keras di Sumba sebagai habitat asli sapi SO menjadikan sapi ini menjadi sapi yang tahan banting, tahan dengan cuaca ekstrim dan juga pakan yang jelek (pakan dengan gizi dan kualitas buruk). Keunggulan ini menjadikan sapi SO mulai diperhitungkan oleh para pengusaha penggemukkan sapi untuk digemukkan dengan cara yang lebih intensif dalam sebuah feedlot penggemukan sapi. Salah satu keuntungan memelihara sapi SO yang kurus adalah kompensatory gain nya yang sangat tinggi.
Menurut info sejarahnya, Sapi jantan Ongole dibawa dari daerah Madras, India ke pulau Jawa, Madura dan Sumba. Di Sumba dikenal dengan sapi Sumba Ongole. Sapi Sumba Ongole (SO) dibawa ke Jawa dan dikawinkan dengan sapi asal jawa dan kemudian dikenal dengan peranakan ongole (PO) Sapi ongole dan PO baik untuk mengolah lahan karena badan besar, kuat, jinak dan bertemperamen tenang, tahan terhadap panas, dan mampu beradaptasi dengan kondisi yang minim. Sapi-sapi ongole asal India dimasukkan kali pertama oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Sumba, pada awal abad ke 20, sekitar tahun 1906-1907.
Dari empat jenis sapi, yang dimasukkan ke Sumba saat itu, yaitu sapi Bali, sapi Madura, sapi Jawa, dan sapi Ongole, ternyata hanya sapi Ongole yang mampu beradaptasi dengan baik dan berkembang dengan cepat, di pulau yang panjang musim kemaraunya ini. Sekitar tujuh atau delapan tahun kemudian, pada tahun 1914, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Pulau Sumba sebagai pusat pembibitan sapi Ongole murni. Upaya ini disertai dengan memasukkan 42 ekor sapi ongole pejantan, berikut 496 ekor sapi ongole betina serta 70 ekor anakan ongole.
Dalam laporan tahunan Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur (1989) tercatat, pada tahun 1915, Pulau Sumba sudah mengekspor enam ekor bibit sapi ongole pejantan. Empat tahun kemudian, pada 1919, ekspor sapi ongole dari Pulau Sumba tercatat sebanyak 254 ekor, dan pada tahun 1929, meningkat mencapai 828 ekor. Sapi-sapi asal Sumba ini pun memiliki merek dagang, sapi Sumba Ongole (SO).
Perkembangan selanjutnya, Sumba kembali ditetapkan sebagai pusat pembibitan sapi ongole murni di masa pemerintahan Presiden Soeharto, melalui Undang- Undang Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 6 Tahun 1967. Sapi ongole memang menjadi ciri khas Pulau Sumba, terutama Sumba Timur. Selain sapi, kekhasan lain Sumba Timur adalah padang rerumputan (sabana). Bentangan sabana kering tampak bagaikan lautan menguning. Kemarau panjang mencapai puncaknya di bulan Oktober. Kondisi alam yang menantang ini menjadi rutinitas bagi sebagian penduduk di Pulau Sumba, yang mengandalkan penghidupan mereka sebagai penggembala. Memasuki wilayah kecamatan Pandawai, Sumba Timur, misalnya terlihat kawanan sapi berkeliaran di hamparan rerumputan kering.
Sumba Timur memang berpotensi mengembangkan peternakan secara ekstensif. Tidak hanya sapi, tetapi juga kuda dan kerbau, atau ternak-ternak kecil lainnya. Statistik Pertanian Sumba Timur (2003) menunjukkan, jumlah ternak sapi potong, kerbau, dan kuda di kabupaten ini mencapai 100.600 ekor. Jumlah ternak di satu kabupaten ini jauh lebih banyak dibanding jumlah ternak di Provinsi Kalimantan Timur (73.200 ekor) atau Papua (74.000 ekor).
Kabupaten seluas 7.000,50 kilometer persegi ini terbagi menjadi 15 kecamatan, dan rata-rata di setiap kecamatan terdapat lebih dari 2.000 ekor ternak besar, baik sapi, kerbau, ataupun kuda. Hingga tahun 2003, di Kecamatan Pandawai tercatat terdapat lebih dari 6.000 ekor sapi, sedangkan di kecamatan Panguda Lodu menjadi kecamatan yang memiliki ternak kuda dan kerbau terbanyak, masing-masing 6.095 ekor kuda dan 5.126 ekor kerbau.
Di daerah asalnya sapi ini dipelihara dalam lahan penggembalaan (ranch) dengan panasnya sinar matahari di area ribuan hektar, pemilik sapi biasanya memiliki ratusan ekor sapi dan menandai sapinya dengan sobekan di telinga atau dengan cap bakar di paha.
Kelebihan pemeliharaan system ranch di sana adalah mendukung pembentukan rangka yang panjang karena sapi bisa exercise dengan cukup, mendapatkan vitamin D cukup dari sinar matahari, dan mendapatkan sebagian mineral (Ca) dari tanah atau bebatuan di sekitar ranch. Kelemahan dari system ranch adalah tingginya kejadian inbreeding, recording reproduksi dan produksi relatif susah, susahnya kontrol penyakit parasiter (cacing), sapi kecil akan selalu kalah dalam kompetisi perebutan pakan.
Pada musim kemarau, ranch akan sangat kekurangan air, akibat dari asupan air yang rendah akan terjadi kekurangan rumput, rendahnya perfoma reproduksi dan produksi, meningkatnya kematian pedet karena susu induk yang kurang mencukupi. Kurangnya rumput dan air pada musim kemarau menyebabkan menurunnya kondisi fisik sapi sehingga kejadian penyakit meningkat seperti demam tiga hari (Bovine Epiferal Fever), kekurusan (skinny) dan weakness (kelemahan). Saat musim kemarau terjadi peningkatan kejadian masuknya benda asing (kain, plastik, kayu, lidi, paku, kawat) ke dalam tubuh sapi yang dapat mengganggu fungsi alat pencernakan, jantung, paru paru dan system organ lain.
Penggemukan SO
Mobilisasi sapi Sumba Ongole dari Sumba ke Jawa untuk tujuan penggemukan sudah berjalan lebih dari 20 tahun yang lalu. Sapi dibawa melalui kapal laut melewati pelabuhan di Surabaya, dan dibawa ke Jawa, di Jawa Barat penampungan sementara sapi banyak dilakukan di Tambun, Bekasi sebelum dibawa ke feedlot masing masing antara lain di Subang, Bandung, Sukabumi, Bogor, atau Banten.
Para pengusaha penggemukan memilih sapi SO untuk penggemukan karena memiliki beberapa keuntungan seperti: sapi SO mudah beradaptasi dengan pakan penggemukan dengan sistem koloni, sapi dalam koloni baru dalam pen akan cepat mengenal kawan dalam satu koloni, tidak banyak terjadi perkelahian antar sapi (hanya 1-2 hari). Tahap awal penggemukan dimulai dari penimbangan masing masing sapi untuk menentukan grade berdasarkan berat badan, pen, dan target pakan.
Pemberian multi vitamin dan obat cacing sangat membantu meningkatkan kecernaan pakan yang dikonversi menjadi daging. Fase pakan dibedakan menjadi 3 yaitu starter (DOF 1 – 10), grower (11-60 hari), dan Finisher (60 hari – waktu jual). Persentase hijauan tinggi pada saat starter dan akan terus dikurangi sampai finisher/waktu jual, pakan konsentrat diberikan sebaliknya yaitu dari sedikit dan meningkat secara bertahap.
Pada awal 2008, sapi yang dikelola di feedlot mempunyai rangka yang panjang panjang dan bobot badan awal 400 – 600 kg (masuk dalam kelas Heavy – ekstra Heavy). Kecilnya angka penyusutan karena transportasi (< 2%) dan average feed intake yang selalu meningkat dari hari ke hari (2,3 % - 2,6 % dry matter intake) menghasilkan perfoma yang luar biasa. Dalam jangka waktu pemeliharaan (Days On Feed) 90 hari SO jantan, akan didapatkan kenaikan berat badan 1.6 – 2.0 kg / ekor/ hari, dan rata rata karkas yang dihasilkan di atas 52.5%. Para jagal dan penjual daging sangat menyukai hasil panen penggemukan SO karena selain % karkas tinggi juga tekstur daging yang padat, sedikit atau tanpa lemak dan kematangan daging (berwarna merah yang sangat pas untuk produksi bakso. Pada 2008 harga sapi SO jantan masih berkisar Rp. 22.500 – Rp. 23.000 dan indukan (cow) Rp. 18.000 – Rp. 19.000 /kg berat badan hidup. Pada saat itu harga karkas masih sekitar Rp. 45.000,00, sehingga apabila sapi berat 400 kg (400 X Rp. 22.500 = Rp.9.000.000,00) dipotong mendapatkan 53% karkas (212 kg) seharga Rp. 9.540.000,00 artinya ada keuntungan Rp. 540.000,00 / ekor bagi jagal.
Akhir akhir ini, sapi bakalan yang datang dari Sumba relative lebih kecil kecil (250 kg) dan kondisi badan yang kurang ideal. Sapi dengan berat 250 – 300 kg ini termasuk dalam kategori light – ekstra light, membutuhkan waktu pemeliharaan yang lebih lama yaitu di atas 120 hari. Kenaikan berat badan yang dihasilkan lebih rendah hanya sekitar 1.0 – 1.1 kg/ekor/hari, begitu juga karkas yang didapatkan hanya 50% saja. Makin rendahnya grade sapi bakalan yang masuk ke kandang penggemukan mengindikasikan telah terkurasnya sapi bakalan dengan bobot besar, meningkatnya kejadian inbreeding, atau populasi ternak tidak diimbangangi jumlah pakan yang tersedia terlebih pada musim kemarau.
Pengembang biakan SO (Breeding)
Semakin menurunnya kualitas sapi SO dan makin tingginya kebutuhan sapi lokal untuk bakalan penggemukan, menuntut pengusaha ternak untuk mengembangbiakan sapi SO dengan system intensif melalui perbaikan managemen pemeliharaan, perkawinan, pakan dan budidaya. Pengembangbiakan sapi SO secara intensif ditujukan untuk pemurnian dan masih menggunakan perkawinan alami. Sapi SO memiliki perfoma reproduksi yang sangat baik, hasil budidaya yang kami dapatkan kebuntingan > 90 % dengan rataan perkawinan 1-2 kali, mas produktif sampai 10 tahun, jarak antar kelahiran 12 – 13 bulan.
Dalam perkembangan transfer embrio, sapi SO berreaksi sangat memuaskan terhadap superovulasi pada produksi embrio seperti yang pernah kami lakukan menghasilkan 20 buah embrio fertile kualitas excellent. Perfoma keturunan yang dihasilkan meliputi pertumbuhan yang lebih cepat, pada keturunan betina akan mencapai masa pubertas pada umur 13 bulan dengan berat badan 280 kg, dan berat badan indukan bisa mencapai 500kg. Pada beberapa pengamatan pemeliharaan, sapi SO tingkat reproduksinya sangat jelek di daerah yang dingin di dataran tinggi.
Pemberian pakan untuk breeding tidak membutuhkan pakan dengan kualitas terbaik. Hal ini selain untuk memperkecil biaya untuk produksi pedet juga karena sapi SO memiliki kecernaan yang baik terhadap pakan yang diberikan. Pakan untuk pemeliharaan sapi breeding yang kami berikan meliputi konsentrat 1- 3 kg ( protein kasar 10-11 %, TDN 65% ) dan rumput lapangan atau jerami fermentasi dengan sedikit supplement vitamin E dan Selenium sudah sangat mencukupi.
Dalam dialognya di media electronic beberapa waktu yang lalu, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Sekda NTT, KTNA, dan para ahli peternakan dan pertanian berkomitmen penuh untuk memajukan pengembangan sapi Sumba Ongole. Dalam penjelasannya, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan mengatakan akan mengkombinasikan manajemen pemeliharaan dan bionutrisi untuk mengdapatkan hasil optimal, sementara factor kekeringan pada musim kemarau yang bisa membuat kematian pedet hingga 60% akan ditanggulangi dengan pembuatan sarana dan prasarana sumber air.
Karakteristik Sapi Sumba Ongole (SO)
Penampilan Fisik
Secara fisik Sapi Sumba Ongole mudah dikenali, karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
Warna kulitnya putih, disekitar kepala sedikit lebih gelap cenderung abu-abu.
Postur tubuhnya agak panjang, leher sedikit pendek dan kaki terlihat panjang.
Memiliki punuk besar dan bergelambir (lipatan-lipatan kulit yang terdapat dibagian bawah leher dan perut).
Punuk tumbuh lurus dan berkembang baik pada ternak jantan
Telinganya panjang dan menggantung.
Kepala relatif pendek dengan profil melengkung, mata besar dan tenang.
Kulit disekitar lobang mata berwarna hitam selebar ± 1 cm.
Tanduk sapi betina lebih panjang dari pada sapi jantan.
Tinggi sapi ongole jantan berkisar 150 cm dengan berat badan mencapai 600 Kg. Sementara itu, sapi betina memiliki tinggi badan berkisar 135 cm dan berat badan 450 Kg.
Pertambahan Bobot Badan & Kualitas Karkas
Secara umum pertambahan bobot badan sapi ongole dapat mencapai 0,9 Kg per hari dengan kualitas karkas mencapai 45 – 58%. Rasio daging dengan tulangnya adalah 1 : 423, sapi ongole termasuk lambat untuk mencapai dewasa, yaitu sekitar umur 4 – 5 tahun.
Hasil penelitian Ngadiono (1995) Sapi Sumba Ongole yang dipelihara dengan intensif dapat memiliki rataan pertambahan bobot badan harian sebesar 0,85+0,01 kg/ekor/hari. Kemampuan mengkonsumsi bahan kering pakan sebesar 8,49 kg/ekor/hari atau konsumsi bahan keringnya sebesar 2,38% dari bobot badan. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa dengan konsumsi bahan kering tersebut, sapi Sumba Ongole dapat mengkonversi pakan sebesar 10,60 kg bahan kering pakan/kg pertambahan bobot badan. Nilai rataan pertambahan bobot badan tersebut masih lebih rendah dari hasil penelitian Nugroho (2008) yang juga menggunakan Sapi Sumba Ongole dengan sistem pemeliharaan secara intensif yaitu, sebesar 1,29 kg/ekor/hari.
Reproduksi
Betina kawin pertama umur 18 bulan, beranak pertama umur 30 bulan, jantan kawin pertama umur 30-36 bulan. Aktivitas reproduksi induk Sapi Sumba Ongole cepat kembali normal setelah beranak, sedangkan jantannya memiliki kualitas semen yang baik.
Keunggulan Sapi Sumba Ongole
Sapi Sumba Ongole sangat cocok dikembangkan di daerah yang memiliki keterbatasan hijauan pakan, dikarenakan sapi ini menyukai pakan kering atau jerami serta berbagai jenis pakan awetan
Mampu bertahan pada suhu tinggi (40ยบ C) dengan kondisi pakan yang berkualitas rendah.
Bobot badan besar, sehingga jumlah daging yang dihasilkan lebih besar.
Merupakan tipe sapi potong yang baik.
Dari berbagai sumber
Saat kita mendapatkan sapi SO yang baru dikirim dari tempat asalnya, umumnya sapi tersebut dalam kondisi kurus. Memang salah satu kendala pemeliharaan sapi SO di tempat asalnya adalah jika tiba saatnya musim kemarau maka kesulitan penyediaan pakan menjadi masalah yang paling menghantui peternak sapi SO. Suhu daerah asal SO yang panas menjadikan ketersediaan hijauan pakan saat kemarau menjadi sangat langka.
Alam yang keras di Sumba sebagai habitat asli sapi SO menjadikan sapi ini menjadi sapi yang tahan banting, tahan dengan cuaca ekstrim dan juga pakan yang jelek (pakan dengan gizi dan kualitas buruk). Keunggulan ini menjadikan sapi SO mulai diperhitungkan oleh para pengusaha penggemukkan sapi untuk digemukkan dengan cara yang lebih intensif dalam sebuah feedlot penggemukan sapi. Salah satu keuntungan memelihara sapi SO yang kurus adalah kompensatory gain nya yang sangat tinggi.
Menurut info sejarahnya, Sapi jantan Ongole dibawa dari daerah Madras, India ke pulau Jawa, Madura dan Sumba. Di Sumba dikenal dengan sapi Sumba Ongole. Sapi Sumba Ongole (SO) dibawa ke Jawa dan dikawinkan dengan sapi asal jawa dan kemudian dikenal dengan peranakan ongole (PO) Sapi ongole dan PO baik untuk mengolah lahan karena badan besar, kuat, jinak dan bertemperamen tenang, tahan terhadap panas, dan mampu beradaptasi dengan kondisi yang minim. Sapi-sapi ongole asal India dimasukkan kali pertama oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Pulau Sumba, pada awal abad ke 20, sekitar tahun 1906-1907.
Dari empat jenis sapi, yang dimasukkan ke Sumba saat itu, yaitu sapi Bali, sapi Madura, sapi Jawa, dan sapi Ongole, ternyata hanya sapi Ongole yang mampu beradaptasi dengan baik dan berkembang dengan cepat, di pulau yang panjang musim kemaraunya ini. Sekitar tujuh atau delapan tahun kemudian, pada tahun 1914, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Pulau Sumba sebagai pusat pembibitan sapi Ongole murni. Upaya ini disertai dengan memasukkan 42 ekor sapi ongole pejantan, berikut 496 ekor sapi ongole betina serta 70 ekor anakan ongole.
Dalam laporan tahunan Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur (1989) tercatat, pada tahun 1915, Pulau Sumba sudah mengekspor enam ekor bibit sapi ongole pejantan. Empat tahun kemudian, pada 1919, ekspor sapi ongole dari Pulau Sumba tercatat sebanyak 254 ekor, dan pada tahun 1929, meningkat mencapai 828 ekor. Sapi-sapi asal Sumba ini pun memiliki merek dagang, sapi Sumba Ongole (SO).
Perkembangan selanjutnya, Sumba kembali ditetapkan sebagai pusat pembibitan sapi ongole murni di masa pemerintahan Presiden Soeharto, melalui Undang- Undang Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 6 Tahun 1967. Sapi ongole memang menjadi ciri khas Pulau Sumba, terutama Sumba Timur. Selain sapi, kekhasan lain Sumba Timur adalah padang rerumputan (sabana). Bentangan sabana kering tampak bagaikan lautan menguning. Kemarau panjang mencapai puncaknya di bulan Oktober. Kondisi alam yang menantang ini menjadi rutinitas bagi sebagian penduduk di Pulau Sumba, yang mengandalkan penghidupan mereka sebagai penggembala. Memasuki wilayah kecamatan Pandawai, Sumba Timur, misalnya terlihat kawanan sapi berkeliaran di hamparan rerumputan kering.
Sumba Timur memang berpotensi mengembangkan peternakan secara ekstensif. Tidak hanya sapi, tetapi juga kuda dan kerbau, atau ternak-ternak kecil lainnya. Statistik Pertanian Sumba Timur (2003) menunjukkan, jumlah ternak sapi potong, kerbau, dan kuda di kabupaten ini mencapai 100.600 ekor. Jumlah ternak di satu kabupaten ini jauh lebih banyak dibanding jumlah ternak di Provinsi Kalimantan Timur (73.200 ekor) atau Papua (74.000 ekor).
Kabupaten seluas 7.000,50 kilometer persegi ini terbagi menjadi 15 kecamatan, dan rata-rata di setiap kecamatan terdapat lebih dari 2.000 ekor ternak besar, baik sapi, kerbau, ataupun kuda. Hingga tahun 2003, di Kecamatan Pandawai tercatat terdapat lebih dari 6.000 ekor sapi, sedangkan di kecamatan Panguda Lodu menjadi kecamatan yang memiliki ternak kuda dan kerbau terbanyak, masing-masing 6.095 ekor kuda dan 5.126 ekor kerbau.
Di daerah asalnya sapi ini dipelihara dalam lahan penggembalaan (ranch) dengan panasnya sinar matahari di area ribuan hektar, pemilik sapi biasanya memiliki ratusan ekor sapi dan menandai sapinya dengan sobekan di telinga atau dengan cap bakar di paha.
Kelebihan pemeliharaan system ranch di sana adalah mendukung pembentukan rangka yang panjang karena sapi bisa exercise dengan cukup, mendapatkan vitamin D cukup dari sinar matahari, dan mendapatkan sebagian mineral (Ca) dari tanah atau bebatuan di sekitar ranch. Kelemahan dari system ranch adalah tingginya kejadian inbreeding, recording reproduksi dan produksi relatif susah, susahnya kontrol penyakit parasiter (cacing), sapi kecil akan selalu kalah dalam kompetisi perebutan pakan.
Pada musim kemarau, ranch akan sangat kekurangan air, akibat dari asupan air yang rendah akan terjadi kekurangan rumput, rendahnya perfoma reproduksi dan produksi, meningkatnya kematian pedet karena susu induk yang kurang mencukupi. Kurangnya rumput dan air pada musim kemarau menyebabkan menurunnya kondisi fisik sapi sehingga kejadian penyakit meningkat seperti demam tiga hari (Bovine Epiferal Fever), kekurusan (skinny) dan weakness (kelemahan). Saat musim kemarau terjadi peningkatan kejadian masuknya benda asing (kain, plastik, kayu, lidi, paku, kawat) ke dalam tubuh sapi yang dapat mengganggu fungsi alat pencernakan, jantung, paru paru dan system organ lain.
Penggemukan SO
Mobilisasi sapi Sumba Ongole dari Sumba ke Jawa untuk tujuan penggemukan sudah berjalan lebih dari 20 tahun yang lalu. Sapi dibawa melalui kapal laut melewati pelabuhan di Surabaya, dan dibawa ke Jawa, di Jawa Barat penampungan sementara sapi banyak dilakukan di Tambun, Bekasi sebelum dibawa ke feedlot masing masing antara lain di Subang, Bandung, Sukabumi, Bogor, atau Banten.
Para pengusaha penggemukan memilih sapi SO untuk penggemukan karena memiliki beberapa keuntungan seperti: sapi SO mudah beradaptasi dengan pakan penggemukan dengan sistem koloni, sapi dalam koloni baru dalam pen akan cepat mengenal kawan dalam satu koloni, tidak banyak terjadi perkelahian antar sapi (hanya 1-2 hari). Tahap awal penggemukan dimulai dari penimbangan masing masing sapi untuk menentukan grade berdasarkan berat badan, pen, dan target pakan.
Pemberian multi vitamin dan obat cacing sangat membantu meningkatkan kecernaan pakan yang dikonversi menjadi daging. Fase pakan dibedakan menjadi 3 yaitu starter (DOF 1 – 10), grower (11-60 hari), dan Finisher (60 hari – waktu jual). Persentase hijauan tinggi pada saat starter dan akan terus dikurangi sampai finisher/waktu jual, pakan konsentrat diberikan sebaliknya yaitu dari sedikit dan meningkat secara bertahap.
Pada awal 2008, sapi yang dikelola di feedlot mempunyai rangka yang panjang panjang dan bobot badan awal 400 – 600 kg (masuk dalam kelas Heavy – ekstra Heavy). Kecilnya angka penyusutan karena transportasi (< 2%) dan average feed intake yang selalu meningkat dari hari ke hari (2,3 % - 2,6 % dry matter intake) menghasilkan perfoma yang luar biasa. Dalam jangka waktu pemeliharaan (Days On Feed) 90 hari SO jantan, akan didapatkan kenaikan berat badan 1.6 – 2.0 kg / ekor/ hari, dan rata rata karkas yang dihasilkan di atas 52.5%. Para jagal dan penjual daging sangat menyukai hasil panen penggemukan SO karena selain % karkas tinggi juga tekstur daging yang padat, sedikit atau tanpa lemak dan kematangan daging (berwarna merah yang sangat pas untuk produksi bakso. Pada 2008 harga sapi SO jantan masih berkisar Rp. 22.500 – Rp. 23.000 dan indukan (cow) Rp. 18.000 – Rp. 19.000 /kg berat badan hidup. Pada saat itu harga karkas masih sekitar Rp. 45.000,00, sehingga apabila sapi berat 400 kg (400 X Rp. 22.500 = Rp.9.000.000,00) dipotong mendapatkan 53% karkas (212 kg) seharga Rp. 9.540.000,00 artinya ada keuntungan Rp. 540.000,00 / ekor bagi jagal.
Akhir akhir ini, sapi bakalan yang datang dari Sumba relative lebih kecil kecil (250 kg) dan kondisi badan yang kurang ideal. Sapi dengan berat 250 – 300 kg ini termasuk dalam kategori light – ekstra light, membutuhkan waktu pemeliharaan yang lebih lama yaitu di atas 120 hari. Kenaikan berat badan yang dihasilkan lebih rendah hanya sekitar 1.0 – 1.1 kg/ekor/hari, begitu juga karkas yang didapatkan hanya 50% saja. Makin rendahnya grade sapi bakalan yang masuk ke kandang penggemukan mengindikasikan telah terkurasnya sapi bakalan dengan bobot besar, meningkatnya kejadian inbreeding, atau populasi ternak tidak diimbangangi jumlah pakan yang tersedia terlebih pada musim kemarau.
Pengembang biakan SO (Breeding)
Semakin menurunnya kualitas sapi SO dan makin tingginya kebutuhan sapi lokal untuk bakalan penggemukan, menuntut pengusaha ternak untuk mengembangbiakan sapi SO dengan system intensif melalui perbaikan managemen pemeliharaan, perkawinan, pakan dan budidaya. Pengembangbiakan sapi SO secara intensif ditujukan untuk pemurnian dan masih menggunakan perkawinan alami. Sapi SO memiliki perfoma reproduksi yang sangat baik, hasil budidaya yang kami dapatkan kebuntingan > 90 % dengan rataan perkawinan 1-2 kali, mas produktif sampai 10 tahun, jarak antar kelahiran 12 – 13 bulan.
Dalam perkembangan transfer embrio, sapi SO berreaksi sangat memuaskan terhadap superovulasi pada produksi embrio seperti yang pernah kami lakukan menghasilkan 20 buah embrio fertile kualitas excellent. Perfoma keturunan yang dihasilkan meliputi pertumbuhan yang lebih cepat, pada keturunan betina akan mencapai masa pubertas pada umur 13 bulan dengan berat badan 280 kg, dan berat badan indukan bisa mencapai 500kg. Pada beberapa pengamatan pemeliharaan, sapi SO tingkat reproduksinya sangat jelek di daerah yang dingin di dataran tinggi.
Pemberian pakan untuk breeding tidak membutuhkan pakan dengan kualitas terbaik. Hal ini selain untuk memperkecil biaya untuk produksi pedet juga karena sapi SO memiliki kecernaan yang baik terhadap pakan yang diberikan. Pakan untuk pemeliharaan sapi breeding yang kami berikan meliputi konsentrat 1- 3 kg ( protein kasar 10-11 %, TDN 65% ) dan rumput lapangan atau jerami fermentasi dengan sedikit supplement vitamin E dan Selenium sudah sangat mencukupi.
Dalam dialognya di media electronic beberapa waktu yang lalu, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Sekda NTT, KTNA, dan para ahli peternakan dan pertanian berkomitmen penuh untuk memajukan pengembangan sapi Sumba Ongole. Dalam penjelasannya, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan mengatakan akan mengkombinasikan manajemen pemeliharaan dan bionutrisi untuk mengdapatkan hasil optimal, sementara factor kekeringan pada musim kemarau yang bisa membuat kematian pedet hingga 60% akan ditanggulangi dengan pembuatan sarana dan prasarana sumber air.
Karakteristik Sapi Sumba Ongole (SO)
Penampilan Fisik
Secara fisik Sapi Sumba Ongole mudah dikenali, karena mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
Warna kulitnya putih, disekitar kepala sedikit lebih gelap cenderung abu-abu.
Postur tubuhnya agak panjang, leher sedikit pendek dan kaki terlihat panjang.
Memiliki punuk besar dan bergelambir (lipatan-lipatan kulit yang terdapat dibagian bawah leher dan perut).
Punuk tumbuh lurus dan berkembang baik pada ternak jantan
Telinganya panjang dan menggantung.
Kepala relatif pendek dengan profil melengkung, mata besar dan tenang.
Kulit disekitar lobang mata berwarna hitam selebar ± 1 cm.
Tanduk sapi betina lebih panjang dari pada sapi jantan.
Tinggi sapi ongole jantan berkisar 150 cm dengan berat badan mencapai 600 Kg. Sementara itu, sapi betina memiliki tinggi badan berkisar 135 cm dan berat badan 450 Kg.
Pertambahan Bobot Badan & Kualitas Karkas
Secara umum pertambahan bobot badan sapi ongole dapat mencapai 0,9 Kg per hari dengan kualitas karkas mencapai 45 – 58%. Rasio daging dengan tulangnya adalah 1 : 423, sapi ongole termasuk lambat untuk mencapai dewasa, yaitu sekitar umur 4 – 5 tahun.
Hasil penelitian Ngadiono (1995) Sapi Sumba Ongole yang dipelihara dengan intensif dapat memiliki rataan pertambahan bobot badan harian sebesar 0,85+0,01 kg/ekor/hari. Kemampuan mengkonsumsi bahan kering pakan sebesar 8,49 kg/ekor/hari atau konsumsi bahan keringnya sebesar 2,38% dari bobot badan. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa dengan konsumsi bahan kering tersebut, sapi Sumba Ongole dapat mengkonversi pakan sebesar 10,60 kg bahan kering pakan/kg pertambahan bobot badan. Nilai rataan pertambahan bobot badan tersebut masih lebih rendah dari hasil penelitian Nugroho (2008) yang juga menggunakan Sapi Sumba Ongole dengan sistem pemeliharaan secara intensif yaitu, sebesar 1,29 kg/ekor/hari.
Reproduksi
Betina kawin pertama umur 18 bulan, beranak pertama umur 30 bulan, jantan kawin pertama umur 30-36 bulan. Aktivitas reproduksi induk Sapi Sumba Ongole cepat kembali normal setelah beranak, sedangkan jantannya memiliki kualitas semen yang baik.
Keunggulan Sapi Sumba Ongole
Sapi Sumba Ongole sangat cocok dikembangkan di daerah yang memiliki keterbatasan hijauan pakan, dikarenakan sapi ini menyukai pakan kering atau jerami serta berbagai jenis pakan awetan
Mampu bertahan pada suhu tinggi (40ยบ C) dengan kondisi pakan yang berkualitas rendah.
Bobot badan besar, sehingga jumlah daging yang dihasilkan lebih besar.
Merupakan tipe sapi potong yang baik.
Dari berbagai sumber
Comments
Post a Comment